Sejarah Nyai Ageng Bagelen Purworejo

Sejarah tentang Ki Ageng dan Nyai Ageng Bagelen terkait dengan asal-usul kota Purworejo, sebab dahulu Kabupaten Purworejo masuk dalam wilayah Kadipaten Bagelen. Luas wilayah Kadipaten Begelen mulai dari perbatasan Yogyakarta hingga daerah Cing cing goling atau Luk Ulo, wilayah Kebumen.

Namun, setelah perang Diponegoro selesai, Kadipaten Bagelen dipecah oleh pemerintah Hindia Belanda menjadi beberapa bagian, diantaranya Kadipaten Brengkelan yang kemudian diubah nama menjadi Purworejo oleh Cokronegoro 1, Adipati Purworejo pertama.

Bagaimana kisah dan sejarah Ki Ageng Bagelen dan Nyai Ageng Bagelen, mari kita ikuti alur ceritanya.

Sejarah Nyai Ageng Bagelen
Gambar Lokasi Makam Bersejarah Nyai Ageng Bagelen di Purworejo

Silsilah Nyai Ageng Bagelen


Nyai Ageng Bagelen termasuk silsilah dari keturunan Raja Medang Kamulan, atau Medang Gele, atau Medhang Kawit. Saat itu, Kerajaan Medang Kamulan diperintah oleh Raja Suwelocelo. Setelah Raja Suwelocelo berusia lanjut, tampuk pimpinan kerajaan dialihkan kepada putranya yang bernama Raden Jaka Panuhun. Setelah diangkat menjadi raja, Jaka Panuhun merubah gelar menjadi Prabu Sri Panuhun Wretikandayun, atau Sri Panuhun 1.

Prabu Sri Panuhun Wretikandayun mempunyai putra bernama Raden Jaka Permana, hasil pernikahan dengan Dewi Srini, putri Ki Buyut Somolangu. Setelah Prabu Sri Panuhun 1 mengundurkan diri karena usia lanjut, tampuk pemerintahan Kerajaan Medhang Gele diganti putranya, Raden Jaka Permana. Setelah diangkat menjadi Raja Medang Kamulan, Raden Jaka Permana merubah gelar menjadi Raja Panuhun 2.

Oleh Raja Panuhun 2, nama kerajaan Medang Kamulan dirubah menjadi Medang Gele, atau Dang Gele, atau lebih populer dengan nama Bagelen. Sri Panuhun 2, beristri seorang putri Raja Sri Sadana dari Kerajaan Jepra., yaitu Dewi Suretno. Hasil pernikahan Sri Panuhun 2 dan dewi Suretno adalah hanya seorang putri saja, yaitu Dewi Roro Wetan. Karena tak ada putra lainnya, maka Dewi Roro Wetan yang menjadi pengganti Raja di kerajaan Medang Gele, atau Bagelen, dimana Dewi Roro Wetan berganti nama menjadi Nyai Ageng Begelen.

Pernikahan Nyai Ageng Bagelen.


Setelah usia dewasa, Dewi Roro Wetan atau Nyai Ageng Bagelen menikah dengan Raden Joko Cokropramono, seorang pemuda dari desa Awu-awu Langit. Hasil pernikahan antara dewi Roro Wetan dengan Raden Cokropramono adalah 1 putra laki-laki yang diberi nama Raden Bagus Ghento, dan 2 putri yaitu Dewi Roro Pitrah dan Dewi roro Taker.

Setelah Sri Panuhun 2 berusia lanjut dan mangkat, tampuk kerajaan diganti oleh Dewi Roro Wetan yang kemudian berganti nama menjadi Nyai Ageng Bagelen. Sedangkan suaminya, Raden Cokropramono berganti gelar Ki Ageng Begelen. Kerajaan Bagelen atau Dhang Gele bukanlah sebuah kerajaan besar, namun hanyalah sebuah kerajaan kecil. Kerajaan Bagelen hanya sebagai tanah perdikan, atau tanah yang bebas pajak. Karena, Kerajaan Medang Kamulan sudah dibagi-bagi menjadi beberapa bagian.

Kisah Nyai Ageng Bagelen dan Ki Ageng Bagelen

Setelah pernikahan, Ki ageng Begelen dan Nyai Ageng Bagelen dikarunia 3 orang putra, yaitu 2 putri dan 1 putra laki-laki. Putri sulung bernama Rara Pitrah, sedangkan putri kedua diberi nama Rara Taker. Putra yang ragil diberi nama Raden Bagus Gentho.

Nyai Roro Wetan atau Nyai Ageng Bagelen membangun daerah Bagelen dengan penuh semangat sehingga rakyatnya hidup sejahtera. Mereka bermata pencaharian sebagai petani di bidang pertanian padi, kedelai, jagung dan lain-lain. Sebagai Raja kerajaan kecil, Raden Cokropramono atau Ki Ageng Bagelen mengajarkan kepada rakyatnya tentang cara bercocok tanam yang benar. Sedangkan Nyai Ageng Bagelen mempunyai keahlian dalam bidang tenun kain yang diajarkan kepada para wanita desa Bagelen.

Pada suatu musim panen raya, Nyai Ageng mencari ke dua putrinya, Roro Taker dan Roro Pitrah namun tidak ketemu. Setelah mencari dimana-mana tidak bertemu, akhirnya Nyai Bagelen menyuruh Ki Ageng untuk mencari ke 2 putri mereka, namun juga tidak ketemu.

Karena waktu sudah mulai sore dan kedua putrinya tidak ketemu, kesabaran Nyai Ageng pun habis. Sambil membawa wliro ( sebuah teropong untuk menenun kain ), dipukulnya sebuah gunungan padi, hasil panen yang ditumpuk oleh Ki Ageng. Karena kesaktian Nyai Ageng, gunungan padi tersebut pecah berantakan hingga ke mana-mana.

Namun apa yang terjadi ?

Ternyata, Roro Taker dan Roro Pitrah bermain di dalam gunungan padi dan mereka tertidur. Akibatnya, Roro Taker dan Roro Pitrah terpental akibat pukulan wliro dari Nyai Begelen. Akibat itu, Roro Taker dan Roro Pitrah t3was seketika. Kejadian ini membuat Nyai Ageng dan Ki Ageng sangat sedih dan saling bercek cok diantara keduanya.

Nyai Ageng menyalahkan Ki Ageng karena telah membuat gunungan padi dan melakukan kegiatan dihari sial yaitu seloso wage, sedangkan Ki Ageng menyalahkan Nyai Ageng memakai jarit dengan motif bangunluntak sehingga tak bisa mengendalikan hawa amarah. Karena percekcokan yang tak kunjung reda dan saling menyalahkan, akhirnya mereka sepakat untuk bercerai. Setelah perceraian, Ki Ageng pulang kembali ke desanya, yaitu Awu-awu langit, sedangkan Nyai Ageng dan Raden Bagus Gentho tetap tinggal kerajaan Bagelen.

Karena perasaan sedih akibat perceraian, Ki Ageng hidup sendiri dan bertapa hingga usia tua dan meninggal dunia. Berita kematian Ki Ageng didengar oleh Nyai Ageng Bagelen. Kemudian Nyai memanggil putranya untuk pamitan ke alam baka, menyusul Ki Ageng Bagelen. Sampai tiba saatnya, Nyai Begelen pun meninggal dunia dan dimakamkan di dusun Bedug, Kecamatan Bagelen, Purworejo.

Mengunjungi lokasi makam Nyai Ageng Bagelen


Lokasi makam Nyai Ageng Bagelen tak jauh dari jembatan sungai Bogowonto, hanya berjarak kurang lebih 100 meter. Jarak dari alun-alun kota Purworejo ke lokasi makam Nyai Ageng Bagelen kira-kira 15 km ke arah Yogyakarta. Sedangkan dari jalan raya raya menuju lokasi makam, hanya berjarak kira-kira 100 meter.

Saat aku mulai masuk ke pintu gerbang, hawa dingin menyentuh tubuhku. Namun, aku tak berpikiran yang aneh-aneh, segera kubuka tas pinggang dan kuambil handycam untuk mengambil gambar lokasi makam Nyai Ageng Bagelen. Namun, segera kututup kamera karena ada sepasang mata tajam mengawasi gerak-gerikku, seakan mencurigai kedatanganku.

Untuk menghilangkan rasa mencurigai aku, segera kuhampiri orang tersebut. Di lihat dari percakapan, seolah orang itu tak menyukai kedatanganku. Aku juga tak sempat untuk bertanya siapa namanya, yang jelas dia adalah orang yang sudah lanjut usia, namun bukan juru kunci. Dengan sedikit memaksa, aku minta ijin untuk mengambil gambar.

Setelah mendapat ijin, aku pun langsung mengambil gambar dengan hanya beberapa lokasi utama saja. Ketika aku mulai masuk ke pintu makam utama, suasana sangat gelap hanya diterangi oleh lampu remang-remang, menambah suasana horor dan angker lokasi makam Nyai Ageng Bagelen. Dari luar pintu utama, aku mendengar suara-suara sumbang dari beberapa orang sedang mengucap mantera, suara itu berada di dalam kuburan yang ditutupi oleh tirai !

0 Comments