Setelah mengambil tiket masuk area wisata pemakaman Panembahan Ciptaning di Jumprit, saya sedikit berbincang dengan penjaga loket mengenai perijinan untuk mengambil gambar. Tak lupa juga, meminta ijin pada juru kunci yang sejak tadi memandangku seperti ada sesuatu yang ingin dia sampaikan.
Tapi, ah sudahlah, mungkin itu hanya perasaanku saja. Kulangkahkan kaki menuju pintu gerbang pertama, kulihat suasana masih sepi, hanya suara burung-burung dan suara gemericik mata air pancuran sendang Jumprit yang bersumber dari Gunung Sindoro dan Gunung Perahu ( gunung dieng )
Kurasakan hangatnya sinar matahari pagi menyentuh kulit yang cahayanya menerobos sela-sela rimbun daun dari pepohonan tua yang mungkin sudah berumur ratusan tahun. Tampak pula panorama gunung perahu yang bisa diintip dari celah-celah rimbunnya pepohonan jika kita sedikit mendongakkan kepala ke arah kanan atas sehingga menambah keindahan suasana pagi di Jumprit. Jika kita menengok ke bawah, tampak aliran air dari pancuran sendang yang sangat jernih dan mengundang selera untuk mandi.
Pada pintu gerbang ke dua, ada patung monyet yang digambarkan sebagai Kera Hanoman dengan tinggi kurang lebih 50 cm menghiasi sudut kanan pintu yang terbuat dari batu dan dibalur dengan pahatan halus seorang seniman patung sejati. Namun, aku tak berani menatap mata patung dengan lebih lama, apalagi menyentuh.
Setelah memasuki ruangan ke dua, tiba-tiba banyak monyet berdatangan dari berbagai penjuru mengepungku! Aku hampir mati kutu, ciut nyali dan mencoba untuk menghindar untuk lari hingga keluar dari area makam. Namun, pikiran sehatku muncul dan membisikkan kata : TENANG! Segera kubuka tas untuk mengambil beberapa bungkus kacang sebagai suap untuk berdamai dengan puluhan monyet yang siap menyerangku. Ibarat Raja Anglingdharma yang mempunyai aji gineng ( pandai bahasa binatang ), aku mencoba berdialog dengan monyet-monyet. Peace, Nyet !
Setelah suasana tenang dan kulihat para monyet asik rebutan kacang, aku mulai mengeluarkan HP jadul untuk mengambil beberapa foto dan gambar menarik. Setelah start on, aku masuk ke pintu gerbang ke tiga, dimana para monyet juga terlihat duduk di atas bangunan pintu.
Bau kemenyan dan harum bunga sesaji semakin menambah aroma mistik yang kuat dan mulai menyesakkan hidung tatkala aku masuk lebih dalam ke area pemujaan Ki Dipo ( digambarkan patung monyet putih hanoman ). Saat aku mengambil gambar pintu gerbang ke empat yang dimana ada patung Ki Dipo di area utama pemujaan, seperti ada desiran angin sangat halus dan sangat dingin menyentuh di belakang tengkukku ! Kulihat kebelakang ! Kosong, hanya tampak patung Bima yang posisinya memang di belakangku. Seketika itu juga bulu kudukku berdiri !
Jika Anda punya mental pemberani dan ingin mencoba, silakan kunjungi wiasta Pemakaman Keramat Panembahan Ciptaning, dan Anda akan disambut dengan banyak monyet liar penghuni makam di Jumprit. Atau mungkin juga anda akan mendapat sambutan oleh desiran angin sangat halus dan dingin yang menyentuh bulu tengkuk. Saran saya, ajaklah beberapa teman untuk mendampingi anda, atau jika anda memang pemberani datanglah sendiri sebab meskipun anda datang dengan banyak teman, namun anda pastinya akan tidur secara sendiri.
Tapi, ah sudahlah, mungkin itu hanya perasaanku saja. Kulangkahkan kaki menuju pintu gerbang pertama, kulihat suasana masih sepi, hanya suara burung-burung dan suara gemericik mata air pancuran sendang Jumprit yang bersumber dari Gunung Sindoro dan Gunung Perahu ( gunung dieng )
Kurasakan hangatnya sinar matahari pagi menyentuh kulit yang cahayanya menerobos sela-sela rimbun daun dari pepohonan tua yang mungkin sudah berumur ratusan tahun. Tampak pula panorama gunung perahu yang bisa diintip dari celah-celah rimbunnya pepohonan jika kita sedikit mendongakkan kepala ke arah kanan atas sehingga menambah keindahan suasana pagi di Jumprit. Jika kita menengok ke bawah, tampak aliran air dari pancuran sendang yang sangat jernih dan mengundang selera untuk mandi.
Pada pintu gerbang ke dua, ada patung monyet yang digambarkan sebagai Kera Hanoman dengan tinggi kurang lebih 50 cm menghiasi sudut kanan pintu yang terbuat dari batu dan dibalur dengan pahatan halus seorang seniman patung sejati. Namun, aku tak berani menatap mata patung dengan lebih lama, apalagi menyentuh.
Setelah memasuki ruangan ke dua, tiba-tiba banyak monyet berdatangan dari berbagai penjuru mengepungku! Aku hampir mati kutu, ciut nyali dan mencoba untuk menghindar untuk lari hingga keluar dari area makam. Namun, pikiran sehatku muncul dan membisikkan kata : TENANG! Segera kubuka tas untuk mengambil beberapa bungkus kacang sebagai suap untuk berdamai dengan puluhan monyet yang siap menyerangku. Ibarat Raja Anglingdharma yang mempunyai aji gineng ( pandai bahasa binatang ), aku mencoba berdialog dengan monyet-monyet. Peace, Nyet !
Setelah suasana tenang dan kulihat para monyet asik rebutan kacang, aku mulai mengeluarkan HP jadul untuk mengambil beberapa foto dan gambar menarik. Setelah start on, aku masuk ke pintu gerbang ke tiga, dimana para monyet juga terlihat duduk di atas bangunan pintu.
Bau kemenyan dan harum bunga sesaji semakin menambah aroma mistik yang kuat dan mulai menyesakkan hidung tatkala aku masuk lebih dalam ke area pemujaan Ki Dipo ( digambarkan patung monyet putih hanoman ). Saat aku mengambil gambar pintu gerbang ke empat yang dimana ada patung Ki Dipo di area utama pemujaan, seperti ada desiran angin sangat halus dan sangat dingin menyentuh di belakang tengkukku ! Kulihat kebelakang ! Kosong, hanya tampak patung Bima yang posisinya memang di belakangku. Seketika itu juga bulu kudukku berdiri !
Jika Anda punya mental pemberani dan ingin mencoba, silakan kunjungi wiasta Pemakaman Keramat Panembahan Ciptaning, dan Anda akan disambut dengan banyak monyet liar penghuni makam di Jumprit. Atau mungkin juga anda akan mendapat sambutan oleh desiran angin sangat halus dan dingin yang menyentuh bulu tengkuk. Saran saya, ajaklah beberapa teman untuk mendampingi anda, atau jika anda memang pemberani datanglah sendiri sebab meskipun anda datang dengan banyak teman, namun anda pastinya akan tidur secara sendiri.
0 Comments