Desa Bruno, juga termasuk desa wisata " curug Muncar " terletak di Kecamatan Bruno yang masih termasuk peta wilayah Kabupaten Purworejo. Nama Bruno diambil dari kalimat " Buruane ora ono, diburu Ora Ono " sebuah kalimat berbahasa jawa yang mempunyai arti adalah " buronan yang dikepung tidak ditemukan ".
Asal-usul dan sejarah desa Bruno terkait dengan peperangan antara pasukan kecil yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro melawan pasukan besar dari Pemerintah Kompeni Belanda yang dibantu oleh pasukan legiun Mangkunegaran pada sekitar bulan November 1828 M.
Akibat perang yang tidak seimbang, pasukan kecil Pangeran Diponegoro menjadi kocar-kacir karena mengalami kekalahan dan melarikan diri ke sebuah hutan disebuah perbukitan. Kala itu, Pangeran Diponegoro ditemani oleh seorang abdi setia, seorang senopati yang bergelar Tumenggung Gajah Permada, melakukan persembunyian dengan naik sebuah pohon besar sehingga membuat pasukan besar dari Pemerintah Belanda tidak menemukan buronan.
Pangeran Diponegoro lahir pada tanggal 11 november 1785 M, beliau adalah cucu seorang Raja dari Kasultanan Yogyakarta yang bernama Sultan Hamengku Buwono ke 1. Pangeran Diponegoro lahir dari rahim seorang ibu yang bernama Raden Ayu Mangkorowati, putri dari Sultan Hamengku Buwono. Ayah dari Pangeran Diponegoro bernama Raden Mas surojo, putra dari Pangeran Adipati Anom Sundoro dari kerajaan Mataram yang bermukim di Pacitan.
Masa kecil Pangeran Diponegoro mempunyai nama adalah Raden Mas Mustahar, setelah beliau remaja, nama itu diganti menjadi Raden Mas Ontowiryo. Kemudian, selama peperangan dengan Kompeni Belanda, beliau mengangkat diri menjadi pemimpin perang dengan gelar Kanjeng Sultan Ngabdul Hamid Heru Cakra Amirul Mukminin Sayyidin Panatagama Kalifatullah Tanah Jawi.
Untuk melengkapi cerita tentang asal-usul desa Bruno, saya harus berkunjung ke rumah Bapak Oteng Suherman untuk mendapat beberapa informasi terkait. Meski dalam keadaan hujan, saya terpaksa main ke desa Kauman, Purworejo untuk menemui beliau. Sebuah keberuntungan, saya bisa menemui Pak Oteng yang biasanya beliau sibuk dengan berbagai acara yang dimiliki.
Cerita singkat, pada sekitar bulan november 1828 M, pangeran Diponegoro bersama pasukan Turkiyo ( sebuah nama dari pasukan Diponegoro yang meniru pasukan perang negara Turki ) mengunjungi sebagian rakyat nya di Bagelen untuk memberikan semangat dan motivasi perang. Saat itu, sebuah pantangan bagi sebuah pasukan Mataram untuk menyeberangi sungai Bogowonto. Menurut kepercayaan kuno, akan terjadi nasib sial jika sebuah pasukan Mataram nekad menyeberang Sungai Bogowonto.
Untuk menghindari nasib sial, Pangeran Diponegoro beserta pasukan Turkiyo dari Mataram mencari jalan alternatif ke arah utara untuk sampai ke tanah Bagelen tanpa menyeberangi Sungai Bogowonto. Akan tetapi, kondisi ini memberikan kesempatan yang bagus bagi Pemerintah Kompeni Belanda dalam rangka menangkap hidup-hidup sang Pangeran Diponegoro, sebab Pemerintah Belanda mengetahui bahwa pasukan Diponegoro tidak mungkin menyeberang di Sungai Bogowonto, yang kemudian mereka mencegat dan mengepung pasukan kecil dari Diponegoro hingga terjadi peperangan yang tak seimbang.
Saat itu, Pemerintah Kompeni Belanda yang dipimpin oleh Kapten Ingen dibantu sejumlah besar dari pasukan Legiun Mangkunegaran yang dipimpin oleh Pangeran Prangwedana, berhasil membuat pasukan Turkiyo menjadi kocar-kacir dan melarikan diri. Beberapa prajurit dari Pasukan Turkiyo mengalami luka dan sebagian banyak yang mati.
Pangeran Diponegoro dengan menaiki kuda tunggangan yang diberi nama jaran Kyai Wijayakrisna berlari ke arah hutan, diikuti oleh abdi setia, Senopati Gajah Permada. Mereka melarikan diri ke sebuah bukit, namun pasukan dari musuh masih mengejar di belakang. Sorak-sorai yang bergemuruh dari pasukan musuh sudah mengepung posisi Pangeran Diponegoro dan Senopati Gajah Permada. Lalu, mereka naik di sebuah pohon besar. Tampak di bawah pohon, ratusan pasukan musuh mencari keberadaan buruan.
Salah seorang dari pasukan musuh berteriak " Buruane ora ono, buruane ora ono !" Artinya, buruannya hilang, BURONANE ORA ONO kemudian disingkat menjadi Bruno dan ditetapkan menjadi nama sebuah desa yaitu Bruno, untuk mengenang peristiwa saat Pangeran Diponegoro dikepung oleh pasukan Kompeni Belanda, tetapi tidak ditemukan. Padahal, Pangeran Diponegoro dan Senopati Gajah Permada berada di atas pohon, mengamati dari atas.
Asal-usul dan sejarah desa Bruno terkait dengan peperangan antara pasukan kecil yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro melawan pasukan besar dari Pemerintah Kompeni Belanda yang dibantu oleh pasukan legiun Mangkunegaran pada sekitar bulan November 1828 M.
Silsilah dan sejarah tentang Pangeran Diponegoro
Pangeran Diponegoro lahir pada tanggal 11 november 1785 M, beliau adalah cucu seorang Raja dari Kasultanan Yogyakarta yang bernama Sultan Hamengku Buwono ke 1. Pangeran Diponegoro lahir dari rahim seorang ibu yang bernama Raden Ayu Mangkorowati, putri dari Sultan Hamengku Buwono. Ayah dari Pangeran Diponegoro bernama Raden Mas surojo, putra dari Pangeran Adipati Anom Sundoro dari kerajaan Mataram yang bermukim di Pacitan.
Masa kecil Pangeran Diponegoro mempunyai nama adalah Raden Mas Mustahar, setelah beliau remaja, nama itu diganti menjadi Raden Mas Ontowiryo. Kemudian, selama peperangan dengan Kompeni Belanda, beliau mengangkat diri menjadi pemimpin perang dengan gelar Kanjeng Sultan Ngabdul Hamid Heru Cakra Amirul Mukminin Sayyidin Panatagama Kalifatullah Tanah Jawi.
Kronologi dan sejarah desa Bruno, buruane ora ono.
Untuk melengkapi cerita tentang asal-usul desa Bruno, saya harus berkunjung ke rumah Bapak Oteng Suherman untuk mendapat beberapa informasi terkait. Meski dalam keadaan hujan, saya terpaksa main ke desa Kauman, Purworejo untuk menemui beliau. Sebuah keberuntungan, saya bisa menemui Pak Oteng yang biasanya beliau sibuk dengan berbagai acara yang dimiliki.
Cerita singkat, pada sekitar bulan november 1828 M, pangeran Diponegoro bersama pasukan Turkiyo ( sebuah nama dari pasukan Diponegoro yang meniru pasukan perang negara Turki ) mengunjungi sebagian rakyat nya di Bagelen untuk memberikan semangat dan motivasi perang. Saat itu, sebuah pantangan bagi sebuah pasukan Mataram untuk menyeberangi sungai Bogowonto. Menurut kepercayaan kuno, akan terjadi nasib sial jika sebuah pasukan Mataram nekad menyeberang Sungai Bogowonto.
Untuk menghindari nasib sial, Pangeran Diponegoro beserta pasukan Turkiyo dari Mataram mencari jalan alternatif ke arah utara untuk sampai ke tanah Bagelen tanpa menyeberangi Sungai Bogowonto. Akan tetapi, kondisi ini memberikan kesempatan yang bagus bagi Pemerintah Kompeni Belanda dalam rangka menangkap hidup-hidup sang Pangeran Diponegoro, sebab Pemerintah Belanda mengetahui bahwa pasukan Diponegoro tidak mungkin menyeberang di Sungai Bogowonto, yang kemudian mereka mencegat dan mengepung pasukan kecil dari Diponegoro hingga terjadi peperangan yang tak seimbang.
Saat itu, Pemerintah Kompeni Belanda yang dipimpin oleh Kapten Ingen dibantu sejumlah besar dari pasukan Legiun Mangkunegaran yang dipimpin oleh Pangeran Prangwedana, berhasil membuat pasukan Turkiyo menjadi kocar-kacir dan melarikan diri. Beberapa prajurit dari Pasukan Turkiyo mengalami luka dan sebagian banyak yang mati.
Pangeran Diponegoro dengan menaiki kuda tunggangan yang diberi nama jaran Kyai Wijayakrisna berlari ke arah hutan, diikuti oleh abdi setia, Senopati Gajah Permada. Mereka melarikan diri ke sebuah bukit, namun pasukan dari musuh masih mengejar di belakang. Sorak-sorai yang bergemuruh dari pasukan musuh sudah mengepung posisi Pangeran Diponegoro dan Senopati Gajah Permada. Lalu, mereka naik di sebuah pohon besar. Tampak di bawah pohon, ratusan pasukan musuh mencari keberadaan buruan.
Salah seorang dari pasukan musuh berteriak " Buruane ora ono, buruane ora ono !" Artinya, buruannya hilang, BURONANE ORA ONO kemudian disingkat menjadi Bruno dan ditetapkan menjadi nama sebuah desa yaitu Bruno, untuk mengenang peristiwa saat Pangeran Diponegoro dikepung oleh pasukan Kompeni Belanda, tetapi tidak ditemukan. Padahal, Pangeran Diponegoro dan Senopati Gajah Permada berada di atas pohon, mengamati dari atas.
0 Comments